Belakangan, banyak orang mendorong kita untuk “selalu berpikir positif.” Tapi, kalau dipaksakan terus-menerus, sikap ini berubah jadi toxic positivity—sebuah pola di mana emosi negatif dianggap salah, ditolak, atau disuruh dihilangkan begitu saja. Masalahnya, kondisi ini sering “dibungkus” dengan kata husnuzon (berbaik sangka), padahal sebenarnya berbeda kasus.
Istilah toxic positivity bukan lagi kata asing di sekitar kita. Meski begitu, banyak orang masih salah memaknai konsep ini—apalagi ketika dibungkus dengan logika agama. Tidak jarang, ajaran tentang kesabaran, prasangka baik (husnuzan), atau keteguhan iman justru menjadi target penyalahgunaan yang membuat kita merasa wajib selalu tampak kuat, tabah, dan positif dalam kondisi apa pun.
Kala posisi kita tidak berpikir positif atau husnuzon maka acapkali label kepribadian kita di cap minus (suuzhon mulu) atau rekontruksi akhlak kita dianggap buruk karena tidak punya positif vibes padahal kondisi yang kita lakukan adalah standar pembanding pada kedua sisi agar tingkat kewaspadaan dan sikap kritis kita tidak tumpul, orang yang tidak menerapkan toxic positivity alias tidak selalu berpikir positif (dicap suuzhon ) Padahal, Kenyataannya pola pikir seperti ini tidak hanya keliru, tetapi juga bisa menjadi tekanan emosional baru yang berdampak buruk bagi kesehatan mental dan spiritual seseorang dikemudian hari.
Toxic positivity adalah kebiasaan memaksa diri atau orang lain untuk tetap ceria dan optimis, bahkan saat sedang terluka, sedih, stres, atau marah. Contohnya: “jangan sedih Allah gk kan nguji kamu sejauh ini untuk berakhir nangis” Kalimatnya terlihat baik, tapi intinya menolak realitas emosi manusia. Padahal, sedih dan kecewa itu normal. dan malah di paksa untuk Husnuzon yang mana penerapan kasusnya berbeda. Bahkan nabipun pernah sedih kala meninggalnya istrinya yaitu khadijah yang berlanjut pamannya Abu thalib secara beriringan sehingga nabi menyendiri hingga lahirnya tahun kesedihan nabi.
Dalam agama, husnuzon artinya berprasangka baik kepada Allah dan manusia, tapi tetap mengakui kondisi yang kita alami beda dengan toxic positivity. Ketika seseorang dituntut untuk “selalu kuat” dan “harus tetap positif”, ia akhirnya menjadi tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Inilah bentuk awal dari emotional repression atau penekanan emosi, yang bisa berbahaya bila berlangsung lama.
Contoh Kasus: Dipaksa Kuat Saat Tragedi Terjadi
Kasus yang bisa kita ambil sebagai study bandingnya ialah kala kejadian ambrukknya pesatren kemarin. Orang-orang malah menekankan emosinya untuk bersikap tegar dengan cara focus ke santri sebagai orang yang Syahid alih – alih mempertanyakan kejadian runtuhnya bangunan tersebut. “Insha Allah surga untuk mereka yang syahid karena posisi sedang shalat. Namun berapa persentase dari wali yang fokus pada kelalaian dari pihak pondok? Bukanya membuat laporan, malah Pembangunan dengan dana APBN yang ditawarkan tentunya istilah kapok sangat pantang terdengar di kalangan mereka kalau kasusnya begitu.
Ucapan seperti: “InshaAllah mereka syahid, jadi jangan berlarut- larut dalam kesedihan.” merupakan penerapan yang jadi penyelamat sekiranya si pelaku benar melakukan kelalaian. Hal ini terdenga menenangkan. Tapi ini juga bisa menjadi bentuk penolakan emosi, terutama ketika keluarga masih membutuhkan jawaban— bukan kalimat penutup pembicaraan. yang lebih berbahaya, narasi seperti ini bisa membuat pihak yang bertanggung jawab merasa aman dari kritik. Fokus masyarakat dipindahkan ke “keikhlasan”, bukan ke aspek keselamatan, kelalaian, atau anggaran yang mungkin bermasalah.
Padahal, agama tidak pernah meminta kita untuk menutup mata dari kebenaran atas nama “sabar”.
Dalam banyak kasus, toxic positivity ditanamkan sebagai cara cepat untuk menutup pembicaraan yang dianggap “negatif”, padahal pembicaraan itu penting. Beberapa dampak buruknya: Emosi tertunda dan meledak kemudian, Kehilangan makna spiritual (jikalau berhasil terbongkar kelalai) hingga tidak ada ruang untuk evaluasi. Ketika semuanya dianggap “sudah takdir”, kita menutup pintu untuk memperbaiki sistem agar tragedi tidak terulang kembali.
Baca juga : jangan sekolahkan anak anda di pesantren
Banyak yang tidak sadar bahwa toxic positivity bukan sekadar “berpikiran positif berlebihan”. Ini adalah bentuk tekanan batin yang membuat seseorang: menolak emosi sendiri, pura-pura kuat saat tidak mampu, mengabaikan luka psikologis, kasus dalam jangka panjang, penekanan emosi semacam ini dapat menurunkan kemampuan regulasi emosi seseorang (dalam teori psikologi disebut emotion regulation). Ini membuat seseorang kesulitan memahami, menerima, dan mengekspresikan perasaan dengan sehat.
Ini bisa dikatakan salah satu kasus toxic positivity yang mengandeng ayat paling viral bagi kita di tahun 2025. Jauh sebelumnya sudah sering kita dengan tocix positivity yang gk kita sadari menjadi ayat sehari-hari. udah jangan sedih rezeki gk pernah tertukar kalau hakmu pasti kembali kala orang kehilangan hpnya, seakan-sekan, sekiranya tidak ketemu berarti itu bukan hak kita. Banyak kutipan toxic positivity yang membuat kita merasa tenang sesaat padahal aslinya itu adalah bumerang diwaktu lain yang memaksa kita untuk selalu kuat menerima kondisi alih alih intropeksi diri.
#husnuzon #suuzhon #prasangka #toxic #positivity




No comments:
Post a Comment